Eksistensi
Kyai dan Pesantren
Judul Buku :
Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)
Penulis :
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph. D
Co-Authors: M.
Rikza Chamami dan Khasan Ubaidillah
Penerbit :
Gama Media, Yogyakarta
Tebal :
XXIV + 124 halaman
Cetakan pertama :
Oktober 2013
Ukuran Buku :
15 x 21 cm
Resentator :
Wahyu Windarti
Sosok seorang Kyai tidak terlepas dari suatu lembaga pesantren.
Pada hakikatnya Kyai dan pesantren memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan
ini dapat dilihat ketika didalam sebuah pesantren selalu hadir sosok Kyai yang berkontribusi
besar dalam pengembangan keilmuannya. Tidak hanya dipandang sebagai orang yang
telah menguasai ilmu-ilmu religius yang tinggi, namun sosok Kyai juga merangkap
sebagai imam shalat, guru mengaji, menjadi tempat bertanya mengenai persoalan
hukum agama, bahkan Kyai juga menjadi sesosok tabib. Eksistensi inilah yang
kemudian menjadikan pentingnya peranan Kyai didalam pesantren.
Dalam buku Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus) mengingatkan
kembali pada sejarah awal terbentuknya sebuah pesantren. Pesantren pada mulanya
hanya tempat pondokkan yang digunakan oleh tokoh-tokoh pemuka agama berkumpul
mendiskusikan sesuatu hal. Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian
padepokkan itu berubah menjadi sebuah pesantren yang digunakan untuk mengenyam
pendidikan formal, sama seperti madrasah-madrasah pada umumnya.
Pengertian mengenai pesantren kemudian dikemukakan lebih luas oleh
KH. M. A. Sahal Mahfudz yaitu pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan islam yang sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur Kyai atau Ustadz,
masjid sebagai tempat ibadah dan penyelenggaraan pendidikan, pondok sebagai
tempat tinggal santri, kitab-kitab Islam sebagai sumber kajian, manajemen, dan
pesantren sebagai sebuah sistem. (hlm. 20)
Dengan kata lain adanya pesantren inilah yang kemudian dibutuhkannya
sosok Kyai untuk pengembangan pesantren selanjutnya, baik dalam sisi keilmuan
agamanya seperti penguasaan Al-Qur’an, Hadits, Fiqh, Kitab Kuning
bahkan hingga ilmu-ilmu yang hukumnya fardlu kifayah.
Berbeda halnya menilik ulang pada kondisi kemasyarakatan di Kudus,
Jawa Tengah, dalam buku Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus) memaparkan
secara menyeluruh bahwa masih adanya sosok Kyai yang tidak dibesarkan melalui
sebuah pesantren. Sosok Kyai tersebut adalah KH. Sanusi, KH. R. Asnawi, KH.
Abdul Jalil Hamid Al-Falaky, KH. Mawardi, KH. M. Arwani Amin, KH. Yahya Arief,
KH. Turaichan Adjhuri, KH. Ma’ruf Asnawi, KH. M. Ma’ruf Irsyad, dan KH. M.
Sya’roni Achmadi. (hlm. 54-97) Keberadaan Kyai-kyai tersebut memiliki
keberagaman dalam penguasaan keilmuannya. Keilmuan para Kyai tersebut di Kudus
sangat variatif dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Menjadi
tak heran lagi kondisi di Kudus mengenai fenomena Kyai tanpa pesantren sudah
sangat wajar terjadi.
Buku
Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus) ini menjadi menarik untuk dibaca
karena menghadirkan sosok-sosok biografi Kyai yang memang benar adanya besar
tanpa asuhan pesantren yang beliau dirikan. Walaupun sebelumnya beliau-beliau
ini telah mengenyam pendidikan di pesantren. Maka secara garis besar kyai dan
pesantren bukanlah satu paket yang harus hadir secara bersamaan. Namun
pesantren adalah media pembelajaran yang diasuh oleh Kyai, sementara Kyai itu
belum tentu dan tidak harus memiliki pesantren. Media lain yang digunakan
sebagian Kyai di Kudus dalam mentransfer ilmunya adalah melalui masjid,
madrasah dan panggung pengajian.
0 komentar:
Posting Komentar
-Silakan Tinggalkan Komentar Anda-