PENCABUTANKURIKULUM
2013, DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Oleh
: Wahyu Windarti
Mahasiswa
Tadris Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas
Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Kurikulum 2013 atau sering disebut K-13 sengaja disiapkan untuk 100
Tahun Indonesia Lebih Maju agar bonus demografi berkisar 30-an tahun ke depan
tidak menjadi bencana. Tampaknya pemerintah berupaya menyiapkan generasi emas
berbudi pekerti dengan menyeimbangkan empat kompetensi inti, yakni aspek religius-sosial,
kognitif, afektif dan psikomotorik. Akan tetapi, terkait berbagai problem
lapangan yang dihadapi pihak sekolah, guru, dan murid dalam mengimplementasikan
K-13, pencabutan Kurikulum 2013 oleh pemerintahan Joko
Widodo melalui menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan
dirasa pantas dilakukan.Hal ini disebabkan pada kebijakankurikulum 2013 yang memangdirancangmembutuhkanwaktupanjang. Bagaimana tidak, kurikulum tidak akan sempurna dilaksanakan jika tanpa
perencanaan yang matang dan implementasi yang tepat.
Kebijakan pemberhentian kurikulum 2013 bukan berarti tidak melakukan
perbaikan, justru terus melakukan pengembangan terhadap kurikulum tersebut di
Indonesia. Masih adanya komponen
yang harus dilakukan evaluasi dalam kurikulum ini mencitrakan bahwa kurikulum
2013 benar-benar belum siap untuk diterapkan di dunia pendidikan Indonesia.Kesesuaian
antara ide kurikulum dengan design kurikulum, lalu kesesuaian design kurikulum
dengan dokumen kurikulum, kesesuaian dokumen kurikulum dengan implementasi
kurikulum, ketiga hal ini yang kemudian harus benar-benar dievaluasi oleh para
pendesain kurikulum. Tanpa adanya ketiga komponen tersebut tidak dapat lagi
sebuah kurikulum dapat berjalan semestinya sesuai dengan tujuan awalnya.
Pencabutan kurikulum 2013 yang dirasa sangat tepat dilakukan ternyata juga
memiliki implikasi yang cukup luas. Kebijakan pencabutan kurikulum 2013 oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menjadikan diskriminasi dalam
dunia pendidikan. Pasalnya, kebijakan itu tidak diterapkan kepada seluruh
sekolah. Hanya sekolah-sekolah yang telah menerapkan 3 semester kurikulum 2013
tetap dilanjutkan karena dianggap sumber daya manusia (SDM)-nya sudah siap dan
mumpuni. Sedangkan sekolah yang baru menerapkan 1 semester kembali pada
kurikulum sebelumnya yakni KTSP. Ketidakmerataan pemberlakuan kurikulum
tersebut memicu diskriminasi dalam dunia pendidikan. Terlihat pada adanya upaya
pembedaan kualitas pendidikan di Tanah Air yang pada akhirnya berdampak pada
kualitas pendidikan yang tidak merata. Sebab, ada sebagian sekolah yang
menerapkan kurikulum 2013 dan ada sekolah yang kembali menerapkan kurikum 2006
(KTSP). Kondisi tersebut merupakan bentuk pendidikan yang mulai mengarah pada
liberalisasi. Padahal, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan
diperlukan adanya konsistensi dalam sistem pendidikan.
Bertolak belakang pada penerapankurikulum2013,banyak menuaipersoalan. Tidaksajapersoalanteknis, tetapi non teknispun
juga. Mulai dari kesiapan buku, sistem penialain, sarana
dan prasarana yang belum memadai, penataran guru, pendampingan guru, hingga
pelatihan terhadap para guru. Seharusnyakurikulum dipersiapkan terlebih dahulu
secara matang sebelum dituangkan dalam sebuah kebijakan. Bisajadi, jikasaranadanprasaranatidaksiap,
akanmenjadisuatupersoalandalampendidikannasional.
Satu hal yang perlu para pendesain kurikulum tahu, pelakupendidikanbukanmesinatau robot yang
serbaotomatikbisaberubah. Mereka bisa berubah
apabila ada suatu komponen yang merubahnya. Melalui pencabutan kurikulum 2013,
dengan berbagai pertimbangan yang cukup matang, para pelaku pendidikan mulai
dari peserta didik, guru, kepala sekolah hingga para pengembang kurikulum mengharapkan
adanya perubahan yang berarti dari tindakan tersebut. Dan jangan lagi adanya
suatu kurikulum yang dipaksakan untuk dilaksanakan apabila belum siap secara
keseluruhan komponennya. Juga kesetaraan pendidikan nasional diperlukan demi
mencegah adanya diskriminasi dalam sistem kurikulum tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar
-Silakan Tinggalkan Komentar Anda-