Laporan Mini Riset



LAPORAN MINI RISET
“TRADISI DODOL DAWET DALAM PROSESI PERNIKAHAN ADAT JAWA
DI KAMPUNG SEGARAN, SEMARANG”


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI



Oleh:

WAHYU WINDARTI
NIM. 133511038

FAKULTAS  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
TRADISI DODOL DAWET
DALAM PROSESI PERNIKAHAN ADAT JAWA
DI KAMPUNG SEGARAN, SEMARANG

I.         PENDAHULUAN
Di era modern seperti sekarang ini, budaya asing banyak merajai dunia kesenian maupun fashion di Indonesia. Tidak hanya itu saja, dengan adanya globalisasi sangat mempengaruhi kebudayaan nasional. Salah satunya adalah beralihnya masyarakat untuk menggemari budaya asing. Inilah yang menyebabkan semakin terkikisnya budaya nasional sebagai jati diri masyarakat Indonesia. Seperti sudah diketahui, bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki berbagai kebudayaan masing-masing. Contohnya adalah suku Jawa. Di suku Jawa masih banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih berkembang dan masih dilakukan, seperti tradisi Dodol Dawed dalam prosesi pernikahan masyarakat Jawa. Tradisi ini memang tidak semua masyarakat melaksanakan, namun sebagian besar masyarakat, khususnya di kampung Segaran Semarang masih melakukan tradisi ini.
Masyarakat di Segaran yang mayoritas beragama Islam, menganggap bahwa tradisi ini harus tetap dilestarikan, terlepas diluar syariat Islam maupun agama lain yang berkembang di daerah tersebut. Untuk itu penulis dalam mini riset ini mengangkat judul Tradisi Dodol Dawed dalam Prosesi Pernikahan Adat Jawa di kampung Segaran Semarang, dengan harapan dapat menggali lebih jauh makna sekaligus presepsi masyarakat seputar tradisi tersebut di kampung Segaran, terlepas dari apa yang mereka yakini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian Field Research atau penelitian lapangan. Metode Field Research adalah salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Jadi dengan terjun secara langsung di lapangan kami berharap akan mendapatkan informasi lebih jauh tentang tradisi Dodol Dawet di kampung Segaran, tanpa maksud mengubah pandangan budaya dalam konteks keyakinan Islam.

II.      LANDASAN TEORI
Dodol Dawet berasal dari bahasa Jawa yaitu kata dodol yang berarti berjualan dan dawet adalah sejenis minuman tradisional dari cendol berbentuk bulat. Lain halnya dengan es, minuman ini merupakan dessert atau pencuci mulut. Dalam kuliner Barat, dawet itu hampir sama dengan pudding. Dawet yang merupakan minuman asli Indonesia, namun dalam falsafah Jawa dawet menjadi lambang kebersamaan.
Biasanya tradisi Dodol Dawet ini dilaksanakan dalam rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa. Tradisi Dodol Dawet rupanya menyimpan makna tertentu. Dawet yang menjadi objek pada prosesi tersebut terbuat dari cendol yang berbentuk bundar merupakan lambang kebulatan tekat orang tua untuk menikahkan anak perempuannya.
Bagi orang yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengan kreweng (pecahan genting) bukan dengan uang. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi. Kemudian dalam prosesi ini yang melayani pembeli adalah ibu dari calon mempelai perempuan sedangkan yang menerima uang adalah bapak dari calon mempelai perempuan. Ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tetang bagaimana mencari nafkah sebagai suami istri kelak harus saling membantu.

III.   KONDISI LAPANGAN
Tradisi Dodol Dawet sudah lama berkembang di kampung Segaran, Kelurahan Tambak Aji, Kecamatan Ngaliyan, Semarang. Tercatat dari 55 kepala keluarga dan kurang lebih 10 keluarga yang pindah maupun pindahan dari kampung lain, terhitung sejak tahun 2005 sudah ada 6 keluarga yang melaksanakan tradisi Dodol Dawet. Tradisi ini selalu dilakukan di kediaman calon mempelai perempuan yang menggunakan adat Jawa dalam pernikahannya.
IV.   ANALISIS LAPANGAN
Sudah diketahui sebelumnya bahwa tradisi ini tetap dilakukan oleh sebagian kecil dari pasangan suami istri yang tinggal di kampung Segaran. Namun yang mengherankan bahwa dari mereka yang melakukan tradisi ini, berdasarkan wawancara peneliti kepada narasumber, mereka tidak mengetahui makna dari tradisi Dodol Dawet. Bahkan menurut penuturan Endrayati, beliau menikah pada 2007 silam, tradisi ini hanya dilakukannya agar memenuhi syarat tradisi saja sebagai calon pengantin perempuan Jawa dengan adat pernikahan Jawa.
Hal ini berbeda dengan penuturan salah satu sesepuh masyarakat di kampung Segaran, beliau adalah Suparni. Menurutnya tradisi Dodol Dawet dalam pernikahannya memiliki makna yang luar biasa, yakni kebulatan tekat orang tuanya untuk menikahkan beliau dengan ikhlas dan sadar akan kehilangan sosok beliau dalam rumah tangga bapak-ibunya. Juga sekaligus mendoakan beliau dan suaminya agar rumah tangganya sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Berkebalikan dengan kondisi tersebut, Widarti (salah satu warga kampung Segaran) yang telah menikah pada tahun 2012 yang lalu, menurutnya makna penting pernikahan tidak dilihat dari berbagai tradisi yang dilakukan, namun dilihat dari sahnya suatu ijab oleh suami dan dapat merintis keluarga yang bahagia. Dia juga menuturkan tradisi Jawa seharusnya memang harus tetap dilestarikan agar tidak punah tergerus arus budaya asing. “Dalam prosesi pernikahan adat Jawa memang tradisi Dodol Dawet perlu dilaksanakan guna nguri-nguri (melestarikan) budaya lokal. Namun saya sendiri tidak menambahkan keseluruhan prosesi pernikahan adat Jawa dikarenakan keterbatasan dana untuk pernikahan.” Imbuh Widarti. (Dalam wawancara, Minggu, 14 Juni 2015)
Tradisi Dodol Dawet selain membutuhkan dana yang tidak sedikit juga ubarampe (peralatan) yang digunakannya pun tergolong khusus. Seperti yang diungkapkan salah seorang juru perias pengantin, Any, beliau telah mempersiapkan peralatan-peralatan seperti uang dari kreweng (pecahan genting), gentong (kendi besar tempat air), dan peralatan untuk pelaksanaan Dodol Dawet pada pernikahan Endrayati–Sutrisno, seminggu sebelum prosesi pelaksanaan pernikahan. Hal ini dilakukannya untuk menghindari hal-hal yang tertinggal dalam prosesi tersebut. Terlebih untuk penggantian koleksinya uang kreweng yang pecah, beliau harus membeli lagi di toko khusus perlengkapan pengantin.
Prosesi Dodol Dawet ini dilaksanakan setelah siraman, pemotongan rambut calon pengantin perempuan dan pemotongan tumpeng oleh orang tuanya. Dodol Dawet sendiri dalam prosesi pernikahan bermakna menjual minuman dawet. Namun tidak hanya itu saja, makna dawet itu berarti kerelaan orang tua untuk melepaskan anaknya dan kebulatan tekat untuk menikahkan anaknya sekaligus mendoakan agar anaknya bersama calon suami dapat bersama-sama saling membantu dalam mencari nafkah yang berlimpah.

V.      KESIMPULAN
Tradisi Dodol Dawet biasa dilaksanakan dalam prosesi pernikahan adat Jawa di kampung Segaran. Tradisi ini di lakukan setelah prosesi siraman, pemotongan rambut calon pengantin perempuan dan pemotongan tumpeng oleh kedua orang tua calon pengantin perempuan. Dodol Dawet tidak selalu dilaksanakan oleh setiap warga kampung Segaran, namun masih ada pula yang melaksanakan tradisi tersebut. Dodol Dawet mengandung makna bahwa adanya kebulatan tekad orang tua untuk menikahkan anaknya sekaligus mendoakan agar anaknya dapat bersama-sama suaminya kelak saling membantu dalam mencari nafkah.

VI.   PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu mini riset yang singkat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan laporan mini riset ini dan yang selanjutnya. Terimakasih.
VII.LAMPIRAN
A.      Biodata Penulis
Nama                                 : Wahyu Windarti
Tempat, Tanggal Lahir      : Semarang, 21 Juni 1995
Alamat                               : Jalan Segaran II No.12 RT.003 RW.004 Kel. Tambak Aji, Kec. Ngaliyan, Semarang
Pekerjaan                           : Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang

B.       Biodata Narasumber
Narasumber 1
Nama                                 : Endrayati
Tempat, Tanggal Lahir      : Semarang, 13 Oktober 1979
Alamat                               : Jalan Segaran II RT.003 RW.004 Kel. Tambak Aji, Kec. Ngaliyan, Semarang
Pekerjaan                           : Ibu Rumah Tangga

Narasumber 2
Nama                                 : Suparni
Tempat, Tanggal Lahir      : Semarang, 17 Juli 1964

Alamat                               : Jalan Segaran II No.3 RT.003 RW.004 Kel. Tambak Aji, Kec.Ngaliyan, Semarang
Pekerjaan                           : Ibu Rumah Tangga

Narasumber 3
Nama                                 : Widarti
Tempat, Tanggal Lahir      : Semarang, 17 Juli 1991
Alamat                               : Jalan Segaran II No.16 RT.003 RW.004 Kel. Tambak Aji, Kec.Ngaliyan, Semarang
Pekerjaan                           : Ibu Rumah Tangga

Narasumber 4
Nama                                 : Bu Any
Tempat, Tanggal Lahir      : -
Alamat                               : Jalan Honggowongso, Semarang
Pekerjaan                           : Perias Pengantin di Salon ANY

C.            Dokumentasi Foto Kegiatan



 





 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Laporan Kunjungan Museum Ronggowarsito



LAPORAN KUNJUNGAN
DI MUSEUM RONGGOWARSITO
SEMARANG

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI



Oleh:

WAHYU WINDARTI
NIM. 133511038


FAKULTAS  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
LAPORAN KUNJUNGAN
DI MUSEUM RONGGOWARSITO SEMARANG

I.         PENDAHULUAN
Museum Ronggowarsito merupakan sebuah aset pelayanan publik di bidang pelestarian budaya, wahana pendidikan dan rekreasi. Museum yang berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah ini dirintis oleh Proyek Rehabilitasi dan Permuseuman Jawa Tengah pada tahun 1975 dan resmi buka oleh Prof. Dr. Fuad Hasan pada tanggal 5 Juli 1975.
Nama Ronggowarsito dipakai sebagai nama museum karena merupakan pujangga yang fenomenal di Keraton Surakarta dan karya sastranya mengandung nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk bagi bangsa Indonesia yang sifatnya membangun dan mendidik menuju pada kemuliaan, kesejahteraan, kejayaan, dan kebahagiaan bangsa Indonesia seluruhnya.
Koleksi-koleksi dari museum Ronggowarsito berjumlah 59.802 buah yang terbagi dalam 10 jenis, yaitu: geologi, biologika, arkeologi, historika, filologi, numismatic/heraldika, kramologika, teknologika, ethnografika, dan seni rupa.
Dalam laporan ini penulis akan memaparkan beberapa koleksi yang ada di museum Ronggowarsito yang terkait dengan adanya nilai budaya Islam dan Jawa dalam koleksi tersebut

II.      HASIL PENGAMATAN
Museum Ronggowarsito menyimpan koleksi-koleksi peninggalan dalam hal budaya Jawa, diantaranya adalah koleksi miniatur Masjid Agung Demak, miniatur Menara Kudus, Wayang Kulit, Bedug dan Kentongan juga Gamelan Jawa. Peninggalan-peninggalan tersebut ternyata menyimpan sejarah yakni adanya pola interelasi dalam budaya Jawa dan Islam. Keduanya berakulturasi dengan membentuk suatu kebudayaan baru yang tidak mempengaruhi keyakinan Islam dalam hal ritual ibadah.


A.      Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Sedangkan atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan Iman, Islam, dan Ihsan. Di masjid ini juga terdapat Pintu Bledeg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Dalam hal ini terlihat pada atap masjid yang bertumpuk 3 lapis menggambarkan seperti bangunan pada zaman Hindu-Budha di Indonesia. Namun dengan adanya interelasi dengan Islam di Jawa, maka atap bertumpuk 3 lapis tidak lagi hanya bermakana bangunan Hindu Budha melainkan berubah makna menjadi Iman, Islam dan Ihsan.

B.       Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertamanya. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para Walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat terlihat pada Menara Masjid Kudus ini.
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan.
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

C.       Wayang
Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-nanti para penonton. Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa (Punakawan). Pendekatan ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh punakawan. Barang kali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan, seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab.
Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya siap sedia. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab Ismar. Tokoh semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada, ia selalu tampil sebagai penasihat.
Sosok wayang kedua adalah Gareng. Nama Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan.
Wayang yang ketiga adalah Petruk. Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Ada yang berpendapat kata petruk diadaptasi dari kata Fatruk kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, " Fat-ruk kulla maa siwallaahi" (tinggalkan semua apapun yang selain Allah).
Sedangkan Tokoh Bagong diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya kejelekan. pendapat lain menyebutkan Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak, yakni berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.


Jika Punakawan ini disusun secara berurutan Semar, Gareng, Petruk, Bagong secara harfiah bermkna " Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan".
Dalam hal ini pola interelasi antara budaya Jawa dengan Islam terlihat dengan adanya makna Islam dibalik nama tokoh pewayangan.

D.      Bedug dan Kentongan
Bedug dan kentongan merupakan dua benda yang tidak terpisahkan. Pasalnya kedua benda inilah yang kemudian membawa dampak baru dalam interelasi budaya Jawa dan Islam.
Kentongan sudah lama dimanfaatkan masyarakat Jawa khususnya di daerah pedesaan. Kentongan biasanya digunakan untuk memberi tanda sesuatu hal telah terjadi, misalnya ada kematian, hajatan, bahkan ada pencuri masuk di desa itu pun ditandai dengan adanya suara kentongan yang dipukul.
Bedug terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan. Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Seiring perkembangan zaman, bedug dan kentongan berubah fungsi, yaitu untuk pertanda bahwa waktu sholat fardhu telah tiba sebelum adzan dikumandangkan. Bedug sendiri terbuat dari kulit sapi ataupun kambing yang sudah dikeringkan lalu, dipasang pada kayu yang sudah berbentuk tabung tanpa alas,tutup serta isi. Sedangkan Kentongan terbuat dari kayu yang dilubangi memanjang sehingga menimbulkan bunyi yang khas. Bunyi dari kedua benda itu mempunyai makna tersendiri. Bunyi kentongan yg berbunyi “tong...tong..tong” memiliki arti kalau masjid ijeh kotong kata orang jawa yang artinya masjid masih kosong. Sedangkan bunyi bedug yang berbunyi “deng...deng..deng” memiliki arti bahwa masjid ijeh sedeng kata orang jawa yang artinya masjid masih muat. Maka dari itu bedug dan kentongan dijadikan sebagai pembuka sebelum adzan karena bunyi dari kedua benda tersebut berisi ajakan untuk mengisi masjid yang masih kosong dan masih muat untuk beribadah. Dalam hal ini adanya unsur budaya Jawa dalam kedua benda tersebut, kemudian berakulturasi dengan Islam terbentuklah suatu kebudayaan baru dimana kedua benda tersebut menjadi alat komunikasi pertanda masuknya waktu shalat fardhu bagi umat Islam.

E.       Gamelan dan Tembang Macapat
Secara etimologi Gamelan berasal dari istilah Bahasa Jawa yakni “Gamel” yang berarti Menabuh/Memukul, dan akhiran “An” yang menjadikannya kata benda, jadi Gamelan bisa diartikan memukul/ menabuh benda.
Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup, sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.
Dalam memainkan Gamelan Jawa tentu tidak lepas dari lirik lagu yang akan ditampilkan. Dalam pertunjukkan Gamelan Jawa, selalu diikuti oleh tembang (dalam Bahasa Jawa) yang artinya lagu. Lagu dalam hal ini tentunya lagu dalam lantunan Bahasa Jawa yang sering disebut Macapat. Tembang-tembang Macapat berisi tentang ajaran-ajaran hidup bagi masyarakat Jawa.
Menurut sejarah tembang ini sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa, namun isi dari lagu sudah terinterelasi dengan nilai-nilai Islam, seperti anjuran untuk ibadah lima waktu, tidak boleh mencuri, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa Gamelan dan lagu macapat menjadi salah satu bentuk interelasi antara budaya Jawa dan Islam.

III.   KESIMPULAN
Interelasi antara budaya Jawa dan Islam terlihat pada lima aspek pada koleksi di museum Ronggowarsito Semarang. Diantaranya adalah miniatur Masjid Demak, miniatur Menara Kudus, Wayang, Bedug dan Kentongan, juga pada Gamelan sekaligus Tembang Macapat. Interelasi ini terjadi karena adanya unsur budaya Jawa yang melebur berakulturasi dengan kebudayaan Islam, sehingga dari kelima aspek peninggalan tersebut dapat menjadi media dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa.

IV.   SARAN
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu laporan yang singkat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan laporan ini dan yang selanjutnya. Terimakasih.



V.      LAMPIRAN
A.      Dokumentasi Miniatur Masjid Agung Demak

B.       Dokumentasi Miniatur Menara Kudus

C.       Dokumentasi Wayang

D.      Dokumentasi Bedug dan Kentongan

E.       Dokumentasi Gamelan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS